Umar bin Abdul Aziz: Bapak Transparansi Publik Muslim Dunia
Umar bin Abdul Aziz memiliki tempat sendiri di hati umat Islam—seorang pemimpin yang saleh, kharismatik, dan dekat dengan rakyatnya. Ia sering dijuluki sebagai Khulafaur Rasyidin yang Kelima sesudah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Bahkan, namanya disandingkan dengan Umar bin Khattab karena memiliki sifat yang sama: zuhud, adil, wara’, dan ahli ilmu agama. Secara silsilah, Ibundanya Ummu Ashim, Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Dengan kata lain, Umar bin Abdul Aziz adalah cicitnya Umar bin Khattab
Padahal, kalau dilihat era kepemimpinan, Umar bin Abdul Aziz hidup di era yang agak berjauhan dengan Khulafaur Rasyidin. Terakhir, Ali bin Abi Thalib memegang tampuk kepemimpinan umat Islam 35-40 H atau 656-661 M.
Sesudah Ali bin Abi Thalib mangkat, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Dinasti Umayah. Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah kedelapan dari Dinasti Umayah yang memimpin 99-101 H atau 717-720 M. Artinya, 59 tahun sesudah era Khulafaur Rasyidin.
Para Khalifah pendahulunya dari Dinasti Umayah, yaitu Mu’awiyah (41-61 H/661-680), Yazid bin Mu’awiyah (60-63 H/680-683 M), Mu’awiyah bin Yazid (64-65 H/683-684 M), Marwan bin Hakam 65-66 H/684-685 M), Abdul Malik bin Marwan (66-86 H/685-705 M), Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M), dan Sulaiman bin Abdul Malik (97-99 H/715-717).
Untuk membersihkan pejabat negara dari korupsi, Umar bin Abdul Aziz memberlakukan qanun atau undang-undang dengan mengajukan pertanyaan sederhana, “Min aina laka hadza?” Dari mana hartamu ini kamu dapatkan? Semua pejabat harus menjawab pertanyaan itu secara tertulis. Dalam bahasa kita sekarang, pertanyaan ini semacam audit kepada pejabat negara.
Setiap pejabat negara harus transparan, dari mana mereka memperoleh kekayaan. Jika tidak mampu membuktikan, maka harta tersebut harus diserahkan pada kas negara di Baitul Mal. Tak urung, pertanyaan sederhana ini ternyata mampu menyaring banyak hal dan menutup pintu-pintu korupsi.
Bahkan, Umar bin Abdul Aziz mencabut hak-hak istimewa keturunan Dinasti Umayah. Harta mereka yang dikumpulkan dengan cara tidak benar atau batil, dirampas dan dikembalikan kepada negara. Demikian pula dengan tanah dan jabatan. Semua diatur ulang secara proporsional.
Bukan tanpa risiko, kebijakan ini banyak menuai protes, terutama dari keturunan Dinasti Umayah sendiri yang sudah bertahun-tahun menikmati kemewahan sebagai warga negara khusus. Untuk itu, mereka pun merancang konspirasi untuk menyingkirkan Umar bin Abdul Aziz.
Mereka menghasut Alas, budak Umar bin Abdul Aziz, untuk menaruh racun di makanannya dengan imbalan 1.000 dinar dan dimerdekakan sebagai budak. Syahdan, ketika tahu diracuni, Umar bin Abdul Aziz masih sempat memanggil Alas dan berkata, “Alas, kau telah meracuniku. Apa yang membuatmu tega melakukan itu?”
Alas menjawab, “Mereka menghadiahiku 1.000 dinar dan menjanjikan kebebasanku.”
Kemudian, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar uang itu dimasukkan ke Baitul Mal dan menyuruh Alas pergi sebagai orang yang merdeka. Umar bin Abdul Aziz wafat pada 25 Rajab 101 M. Meski memerintah hanya dua setengah tahun, Umar bin Abdul Aziz telah memberi secercah harapan bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan di dunia ini.
Meski tahu betul dengan taruhan nyawa, tapi Umar bin Abdul Aziz tidak mundur. Bahkan menjelang detik-detik ajal menjemput, keadilan itu tetap ia pegang teguh tanpa sedikit pun menaruh dendam kepada orang yang meracuninya. Dialah Bapak Transparansi Publik Muslim bagi kita semua.