Ka'ab ibn Zuhayr dan Awal Mula Qasidah Burdah

Ka'ab ibn Zuhayr dan Awal Mula Qasidah Burdah

Secara terminologis, burdah kurang lebih berarti mantel/jubah. Namun, kata ini lebih populer untuk merujuk pada syair-syair madah (pujian) kepada Nabi Muhammad saw. (madaih nabawiyah). 

Di Indonesia, kita mengenal Imam Busiri yang Qasidah Burdah ciptaannya tidak saja sering dilantunkan, melainkan juga dihafalkan oleh banyak orang. Selain Imam Bushiri, ada juga penulis burdah lain, walaupun mungkin kurang populer di Indonesia. Dialah Ka'ab ibn Zuhayr, sosok yang hidup pada masa Nabi saw. 

Ka'ab ibn Zuhayr adalah seorang penyair Arab, putra penyair besar yang puisi-puisinya termasuk salah satu puisi Muallaqot, Zuhayr bin Abi Sulma. Pada masa sebelum Islam, bangsa Arab di Hijaz memiliki kebiasaan menggelar festival puisi tahunan di Pasar Ukadz di sekitar Mekah. 

Sebagai penghormatan, puisi-puisi terbaik dari festival ini akan digantungkan pada dinding Ka'bah sehingga kemudian dikenal sebagai puisi Muallaqot. Penyair paling terkenal dari kelompok ini adalah Imriil Qois. Nah, ayah Ka'ab ibn Zuhayr terrmasuk dalam jajaran penyair besar masa itu. 

Pepatah mengatakan buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Demikian juga Ka'ab yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penyair. Talenta besar yang dimiliki ayahnya menurun pada dirinya. Berkat perjuangan dan usahanya, Ka'ab tumbuh menjadi penyair besar seperti ayahnya. 

Pada masa itu peran syair dan penyair sangat penting dalam kehidupan masyarakat Arab. Secara sosiologis, biasanya penyair menempati posisi yang tinggi sementara karyanya akan terus disebarkan dari mulut ke mulut hingga menjadi sangat populer. 

Sayangnya, talenta besar Ka'ab ini justru membuatnya terkena musibah besar. Karena kebenciannya terhadap Nabi saw. dan keengganannya menerima dakwah Islam, Ka'ab menciptakan puisi-puisi yang berisi hinan kepada Nabi saw. dan pelecehan terhadap wanita Muslimah. 

Tentu saja, mengingat kegemaran bangsa Arab saat itu terhadap puisi ditambah dengan kemahiran dan status Ka'ab sebagai penyair besar, maka puisi-puisinya pun berdampak besar pada dakwah Islam. 

Begitu besar pengaruh puisi-puisi buruknya sehingga Ka'ab menjadi salah satu dari kelompok orang yang divonis mati oleh Nabi saw. Para ulama menyatakan ada sekitar sembilan orang pria dan delapan orang wanita yang mendapat vonis semacam itu. Selain Ka'ab, orang yang masuk dalam kelompok ini di antaranya adalah Wahsyi bin Harb, pembunuh paman Nabi saw, Sayidina Hamah, dalam perang Uhud. 

Meski demikian, karena sifat welas asih Nabi saw. sehingga hanya sedikit orang dari daftar tersebut yang dieksekusi (menurut riwayat hanya tiga), sementara yang dimaafkan termasuk Ka'ab. Peristiwa pemberian maaf inilah yang kemudian melahirkan qasidah Burdah. 

Ka'ab pertama kali mendengar soal vonis dirinya ini dari adiknya, Bujair, yang telah masuk Islam terlebih dahulu. Suatu saat, adiknya berkirim surat mengabarkan tentang vonis tersebut dan menyarankan kakaknya agar menghadap dan meminta maaf kepada Nabi saw. Bujair sangat yakin sifat pemaaf Nabi saw lebih besar dari murkanya. 

Awalnya, Ka'ab enggan minta maaf. Dia lebih memilih mencari perlindungan kepada suku-suku Arab, tapi sayangnya tak satupun yang bersedia memberinya perlindungan termasuk kabilahnya sendiri. Putus asa, akhirnya Ka'ab pun memutuskan untuk menghadap Nabi saw. Para sejarawan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi beberapa tahun setelah Perang Hunain. 

Ketika menghadap Nabi, Kaab yang namanya sangat terkenal namun jarang yang mengetahui rupa atau sosoknya, berkata kepada Nabi saw, "wahai Nabi seandainya Ka'ab datang memohon maaf dan memeluk Islam, apakah engkau akan memaafkannya?" Nabi mengiyakan sehingga timbullah keberanian diri Ka'ab untuk mengungkap jati dirinya. 

"Wahai Nabi, akulah Ka'ab," akunya. Mengetahui hal itu, salah seorang sahabat hendak membunuhnya, namun Nabi melarang. Sebagai wujud kebahagiannya, Kaab pun melantunkan syair pujian kepada Nabi. 

Menurut para ahli, sajak-sajak tersebut merupakan sajak pujian terindah kepada Nabi sepanjang masa. Rasul menyambutnya dengan gembira, bahkan memakaikan jubah (burdah) beliau kepada Ka'ab. Dari sinilah qasidah atau sajak-sajaknya dikenal sebagai Qashidah Burdah.